Makalah
BAB I
PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Krisis energi yang berakibat menurunnya daya beli masayarakat terutama kelompok dibawah garis kemiskinan akan memicu masalah yang lebih besar pada masa depan bangsa. Ibu hamil serta janinya rentan terhadap dampak krisis energi yang sedang terjadi. Asupan nutrisi saat ibu hamil akan sangat berpengaruh pada outcome kehamilan tersebut. Kehidupan manusia dimulai sejak masa janin dalam rahim ibu. Sejak itu, manusia kecil telah memasuki masa perjuangan hidup yang salah satunya menghadapi kemungkinan kurangnya zat gizi yang diterima dari ibu yang mengandungnya. Jika zat gizi yang diterima dari ibunya tidak mencukupi maka janin tersebut akan mempunyai konsekuensi kurang menguntungkan dalam kehidupan berikutnya. Sehingga calon ibu perlu mempunyai kondisi yang baik. Kesehatan dan gizi ibu hamil merupakan kondisi yang sangat diperlukan bagi sang bayi untuk menjadi sehat. Jika tidak, maka dari awal kehidupan manusia akan bermasalah pada kehidupan selanjutnya.
Sejarah klasik tentang dampak kurang gizi selama kehamilan terhadap outcome kehamilan telah didokumentasikan oleh (Stein & Susser 1975). Masa paceklik di Belanda "The Dutch Fainine" yang berlangsung pada tahun 1944-1945, telah membawa dampak yang cukup serius terhadap outcome kehamilan. Fenomena the Dutch Famine menunjukkan bahwa bayi-bayi yang masa kandungannya (terutama trimester 2 dan 3) jatuh pada saat-saat paceklik mempunyai rata-rata berat badan, panjang badan, lingkar kepala, dan berat placenta yang lebih rendah dibandingkan bayi-bayi yang masa kandungannya tidak terpapar masa paceklik dan hal ini terjadi karena adanya penurunan asupan kalori, protein dan zat gizi essential lainnya. (Stein & Susser 1975).
Saat ini kualitas Indonesia dibanding negara-negara lain cukup memprihatinkan. Berdasarkan laporan UNDP, Human Development Index (HDI) Indonesia pada 2006, menempati peringkat 106 dari 173 negara yang diteliti. Bahkan rangking Indonesia jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Padahal pada 1995, Indonesia berada pada rangking ke-104. Ibu mempunyai andil yang amat besar dalam meningkatkan kualitas Indonesia yang saat ini masih terpuruk. Terdapat tiga masa penting dalam kehidupan manusia yang ternyata menjadi penentu kualitas hidup manusia selanjutnya yaitu masa janin, masa menyusui 0-2 tahun dan masa anak berumur 4-6 tahun. Peran ibu sangat dominan dan menentukan pada masa penting tersebut.
Kehamilan merupakan masa awal yang penting dan menentukan selanjutnya. Kualitas janin yang dilahirkan sangat ditentukan kualitas kehamilan yang dijalankan ibu selama kehamilan. Sesayang apapun sang ayah pada janin namun hanya ibulah yang mempunyai hubungan langsung dengan janin karena secara biologis anak dikandung selama 9 bulan di rahim ibu dan setelah dilahirkan akan disusui dan diasuh oleh ibu. Melalui ibulah anak mendapatkan nutrisi untuk kehidupannya, untuk pembentukan otaknya, untuk menumbuhkan seluruh organ tubuhnya. Bahkan melalui komunikasi ibu dan janin yang berkualitas selama kehamilan akan menstimulasi kecerdasan intelektual, emosi dan spiritual anak. Selama sembilan bulan ibu tak terpisahkan dari janinnya. Setiap helaan nafasnya, setiap suara yang diucapkannya, setiap pangan yang dikonsumsinya akan langsung diterima janin dalam kandungan.
Michael-Crawford, seorang profesor asal skotlandia yang telah meneliti lebih dari sepuluh tahun tentang pengaruh nutrisi pada pertumbuhan otak bayi dan janin menyatakan: "Setiap kali kami menemukan bayi dengan Berat Badan Lahir Rendah (BBLR), lingkar kepala kecil dan intelegensi rendah, kami pasti menemukan ibunya mengalami kekurangan sejumlah besar zat gizi, sebelum dan selama kehamilan. Janin cukup umur, bukan prematur, yang BBLR mengindikasikan kehamilan yang kurang berkualitas. Menurut Depkes, janin dikategorikan BBLR jika berat lahirnya di bawah 2500 gram. Kasus BBLR masih cukup tinggi di Indonesia berkisar antara 7-16 persen selama periode 1986-1999.
Demikian juga dari studi terserak yang menunjukkan angka BBLR antara 10-16 persen. Jika proporsi ibu hamil yang akan melahirkan bayi adalah 2,5 persen dari total penduduk, maka setiap tahun diperkirakan 355.000 sampai 710.000 dari 5 juta bayi lahir dengan kondisi BBLR. Kejadian BBLR ini erat kaitannya dengan gizi kurang pada ibu sebelum dan selama kehamilan.
Berbagai penelitian sudah membuktikan dampak negatif BBLR terhadap kualitas bayi selanjutnya. IQ anak BBLR pada usia 6-8 tahun lebih rendah sekitar 10-13 point dibandingkan anak seusianya dengan berat lahir normal dan juga menunjukan kemampuan dasar yang rendah dalam membaca huruf dan berhitung bahkan juga ditemukan anak BBLR dapat menderita gangguan neurologik seperti hiperaktif. Pertumbuhan bayi BBLR lebih lambat dibanding bayi normal sehingga anak tumbuh menjadi lebih kurus dan lebih pendek. Tidak hanya berdampak pada kecerdasan dan hambatan pertumbuhan, ternyata bayi BBLR juga mempunyai respon imunitas yang sangat rendah sehingga bayi BBLR lebih rentan sakit. Dampak yang serius dapat berkesinambungan sampai usia dewasa. Penyakit kronik degeneratif seperti diabetes dan jantung koroner pada usia dewasa ternyata telah diprogram sejak janin dalam kandungan dan hasil penelitian Barker (1996) menemukan ternyata bayi BBLR mempunyai resiko 2-18 kali lebih besar dibanding bayi lahir dengan berat normal. Keadaan gizi ibu yang kurang baik sebelum hamil dan pada waktu hamil cenderung melahirkan BBLR, bahkan kemungkinan bayi meninggal dunia. Sejak anak dalam kandungan hingga berumur 2 tahun merupakan masa emas yang merupakan masa kritis untuk tumbuh kembang fisik, mental dan sosial. Pada masa ini tumbuh kembang otak paling pesat (80%) yang akan menentukan kualitas SDM pada masa dewasa. Sehingga potensi anak dengan IQ yang rendah sangat memungkinkan. Lebih jauh lagi dampak yang diakibatkan adalah meningkatnya kejadian kesakitan bahkan kematian. Mereka yang masih dapat bertahan hidup akibat kekurangan gizi yang bersifat permanen kualitas hidup selanjutnya mempunyai tingkat yang sangat rendah dan tidak dapat diperbaiki meskipun pada usia berikutnya kebutuhan gizinya sudah terpenuhi. Istilah “generasi hilang” terutama disebabkan pada awal kehidupannya sulit memperoleh pertumbuhan dan perkembangan secara optimal.
Kecerdasan, penyakit dan gangguan fisik manusia setelah lahir, yang merupakan bagian dari kualitas SDM ternyata telah diprogram sejak janin. Ibu yang berkualitas yang didukung dengan suami dan keluarga yang penuh kasih, program pemerintah yang peduli pada ibu hamil serta lingkungan yang sehat akan menghasilkan bayi yang berkualitas yang pada akhirnya bermuara pada peningkatan kualitas SDM.
Perubahan pada status gizi dan endokrin janin akan mengakibatkan perkembangan yang secara permanen yang dapat mengubah anatomi, fisiologi dan metabolisme sehingga dapat menjadi faktor awal untuk terjadinya penyakit kardiovaskular, matabolik dan endoktrin pada usia dewasa.
Jaringan dan organ tubuh janin sangat ditentukan oleh status gizi ibu yang baik pada waktu hamil sehingga pada saat bayi dilahirkan dalam keadaan normal dan dapat mencegah sedini mungkin terjadinya penyakit-penyakit yang timbul pada usia dewasa. Sebagai contoh berat badan lahir rendah ada hubungannya dengan peningkatan terjadinya kasus penyakit jantung koroner dan kelainan yang berkaitan seperti stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2.
Keadaan dimana janin tidak mendapatkan kebutuhan gizi yang sesuai dengan kebutuhannya padahal di saat itulah periode awal kehidupan yang kritis dan sensitif yang dapat memberikan efek yang permanen terhadap anatomi, fisiologi dan metabolisme janin di dalam kandungan ibu, maka oleh karena itu perlunya program janin yang terkontrol, baik mencakup keseimbangan diet selama kehamilan maupun keadaan status gizi ibu itu sendiri.
Beberapa penelitian baru menunjukkan bahwa perubahan status gizi ibu dapat memberikan efek jangka panjang terhadap bayi yang terkait pada penyakit kronis pada usia dewasa. Efek jangka panjang perubahan status gizi ibu meliputi perubahan pada struktur dan fungsi vaskular, sekresi insulin, perkembangan renal dan metabolisme glukosa serta kolesterol.
Berdasarkan latar belakang tersebut kami mencoba untuk menggambarkan lebih jauh lagi apa yang sebenarnya terjadi pada ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi dihubungkan dengan kondisi janin pada saat tiba waktunya untuk lahir dengan kondisi kesehatan bayi tersebut pada saat memasuki usia dewasa.
2. Tujuan
2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh akibat dari kekurangan gizi pada ibu hamil terhadap janin dan kondisi kesehatannya pada usia dewasa.
2.2 Tujuan Khusus
2.2.1 Untuk mengetahui penyakit kronis pada usia dewasa akibat kurang gizi pada janin
2.2.2 Untuk mengetahui kebutuhan zat gizi ibu hamil
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kehamilan selalu berhubungan dengan perubahan fisiologis yang berakibat peningkatan volume cairan dan sel darah merah serta penurunan konsentrasi protein pengikat nutrisi dalam sirkulasi darah, begitu juga dengan penurunan nutrisi mikro. Pada kebanyakan negara berkembang, perubahan ini dapat diperburuk oleh kekurangan nutrisi dalam kehamilan yang berdampak pada defisiensi nutrisi mikro seperti anemia yang dapat berakibat fatal pada ibu hamil dan bayi baru lahir (Parra, B. E., L. M. Manjarres, et al. 2005).
Pada kekurangan asupan mineral seng (zinc) dalam kehamilan misalnya, dapat berakibat gangguan signifikan pertumbuhan tulang. Pemberian asam folat tidak saja berguna untuk perkembangan otak sejak janin berwujud embrio, tetapi menjadi kunci penting pertumbuhan fungsi otak yang sehat selama kehamilan (Christiansen, M. and E. Garne 2005).
Kasus-kasus gangguan penutupan jaringan saraf tulang belakang (spina bifida) dan kondisi dimana otak janin tidak dapat terbentuk normal (anencephaly) dapat dikurangi hingga 50% dan 85% jika ibu hamil mendapat asupan cukup asam folat sebelum dia hamil. Ibu hamil harus mendapatkan asupan vitamin yang cukup sebelum terjadinya kehamilan karena pembentukan otak janin dimulai pada minggu-mingu pertama kehamilan, justru pada saat Sang ibu belum menyadari dirinya telah hamil (Obeid, R. and W. Herrmann 2005)( Wen, S. W. and M. Walker 2005).
Pada kasus-kasus dimana janin mengalami defisiensi asam folat, sel-sel jaringan utama (stem cells) akan cenderung membelah lebih lambat daripada pada janin yang dikandung ibu hamil dengan asupan asam folat yang cukup. Sehingga stem cells yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan otak juga berkurang. Selain itu, sel-sel yang mati juga akan bertambah, jauh lebih besar daripada yang seharusnya (Santoso, M. I. and M. S. Rohman, 2005).
Meski dalam jumlah terminimum sekalipun, keterbatasan nutrisi kehamilan (maternal) pada saat terjadinya proses pembuahan janin dapat berakibat pada kelahiran prematur dan efek negatif jangka panjang pada kesehatan janin. Sekitar 40 % wanita yang melahirkan prematur disebabkan oleh faktor yang tak diketahui (idiopatik). Penelitian pada hewan uji kemudian membuktikan adanya korelasi antara kelahiran prematur dengan kekurangan nutrisi sebelum kehamilan dimulai. Pada kehamilan normal, janin sendiri yang akan menentukan kapan dirinya akan memulai proses kelahiran. Pada hewan uji, telah diketahui kalau proses ini dimulai dari aktivasi kelenjar adrenal untuk memproduksi akumulasi mendadak cortisol di dalam darah. Akibatnya, terjadilah proses berantai yang berujung pada proses kelahiran, dan hal yang sama pula dianggap terjadi pada manusia (Challis, J. R, S. J. Lye, et al. 2001).
Problemnya adalah jika kehamilan terjadi prematur. Pada kasus ini paru-paru dan organ-organ penting hanya memilik kemampuan minimum untuk berkembang dalam rahim guna mempersiapkan kehidupan di luar rahim nantinya. Para peniliti mempercayai bahwa cortisol dari kelenjar adrenal juga memacu pematangan dari sistem organ tubuh janin seperti paru-paru, dimana penting bagi bayi agar dapat langsung bernafas dengan mengembangkan paru-parunya seketika lahir. Jika tidak terdapat cukup cortisol untuk mematangkan paru-paru di dalam rahim, bayi yang lahir akan mengalami sindrom gawat nafas (respiratory distress syndrome) dan berlanjut pada keadaan asfiksia (lemas) dan kemudian meninggal. Ini adalah momok menakutkan dari kelahiran prematur (Challis, J. R., S. J. Lye, et al. 2001).
Status gizi wanita merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan. Rendahnya status gizi dapat mengakibatkan kualitas fisik yang rendah dan berpengaruh pada efisiensi reproduksi. Semakin tinggi status gizi seseorang, maka semakin baik pula kondisi fisiknya, sehingga secara tidak langsung mempengaruhi efisiensi reproduksi. Status gizi wanita, terutama pada usia subur, merupakan elemen pokok dari kesehatan reproduksi sebelum dan selama hamil yang dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan janin dikandungnya, yang pada akhirnya berdampak terhadap masa dewasanya. Bila status gizi ibu normal sebelum dan selama hamil kemungkinan besar akan melahirkan bayi yang sehat, cukup bulan dengan berat badan normal bila tingkat kesehatan (kondisi fisik) dan gizinya berada pada kondisi yang baik, karena janin di dalam kandungan merupakan hasil interaksi antara potensi genetik dan lingkungan introuterin (Krisdinamurtirin, 1990).
Pada umumnya, ibu hamil dengan kondisi kesehatan yang baik, dengan sistem reproduksi yang normal, tidak sering menderita sakit dan tidak ada gangguan pada masa pra-hamil maupun pada saat hamil, akan menghasilkan bayi yang lebih besar dan sehat dari pada ibu yang kondisinya tidak seperti itu. Kurang gizi kronis pada masa anak-anak dengan atau tanpa sakit yang berulang, akan menyebabkan bentuk tubuh yang stunting atau kuntet pada masa dewasa. Ibu yang kondisi seperti ini sering melahirkan bayi BBLR, vitalitas rendah dan kematian tinggi, lebih lagi jika si ibu menderita anemia. Perbaikan gizi dan kesehatan pada ibu-ibu dinegara maju terlihat dalam pertambahan tinggi badan (TB) dan berat badan (BB) orang dewasa dibandingkan dengan negara berkembang. Keadaan ini mempengaruhi berat lahir bayi yang berbeda secara bermakna (Soetjiningsih, 1998).
Salah satu teori yang menjelaskan tentang pengaruh status gizi ibu hamil terhadap janin yang dikandungnya adalah teori yang dikenal dengan nama “Fetal Programming”. Menurut teori tersebut, seorang ibu hamil yang mengalami malnutrisi atau kekurangan gizi akan menyebabkan fetus yang dikandungnya mendapat asupan makanan yang kurang terhadap pertumbuhannya. Ibu yang kurang gizi pada umumnya mempunyai kapasitas fisik yang kurang optimal yang akan berpengaruh terhadap kapasitasnya dalam memberikan pelayanan secara optimal pada keluarga terutama janin yang dikandungnya. Hal ini dapat menimbulkan penyakit yang kronis yang diderita si kecil pada masa depan. Penyakit penyakit seperti jantung koroner, hipertensi, kolesterol, gangguan toleransi glukosa dan diabetes biasa ditemui dari para bayi yang dilahirkan oleh para ibu yang mengalami masalah malnutrisi pada masa kehamilan. Saat seorang wanita menjalani kehamilan, akan terjadi perubahan fisiologis, berat badan dan basal metabolisme tubuh akan meningkat. Bersamaan itu, akan terjadi mekanisme adaptasi di dalam tubuh ibu. Penambahan berat badan di masa akhir kehamilan biasanya disebabkan karena pertumbuhan fetus (e.g. 3 kg), pertumbuhan ditubuh ibu yang meliputi uterus, plasenta, air ketuban, air dan darah (e.g. 4 kg) dan persediaan lemak (e.g. 3 kg) (Inayati, 2006).
Di Negara berkembang, termasuk Indonesia, masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat yang utama dan merupakan penyebab kematian ibu dan anak secara tidak langsung yang sebenarnya masih dapat dicegah. Angka kematian ibu dan bayi serta bayi dengan berat badan lahir rendah (BBLR) yang tinggi pada hakekatnya juga ditentukan oleh status gizi ibu hamil. Ibu hamil dengan status gizi buruk atau mengalami KEK (kurang energi kronis) cenderung melahirkan bayi BBLR dan dihadapkan pada resiko kematian yang lebih besar dibanding dengan bayi yang dilahirkan oleh ibu dengan berat badan yang normal. Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap berat badan bayi antara lain faktor demografi, perilaku dan lingkungan, pelayanan medis dan faktor biomedis yaitu berat badan ibu, tinggi badan ibu, lingkar lengan atas (LILA) ibu, umur ibu, paritas, riwayat kelahiran terdahulu, kadar Hemoglobin (Hb) dan tekanan darah ibu sewaktu hamil (Latief, 1997).
Mahadevan (1986) mengatakan bahwa kondisi psikologis status gizi, perubahan berat badan ibu dan pertumbuhan fisiknya berpengaruh besar pada hasil dari kehamilannya dan pada akhirnya berpengaruh pada kelangsungan hidup bayi tersebut.
Selama ini cara yang dipergunakan untuk mengukur status gizi ibu hamil atau merupakan indikator status gizi ibu hamil adalah pertambahan berat badan selama kehamilan, yang berkisar pada masa tubuh ibu sebelum hamil. Pundyastuti (1995) menyatakan bahwa berat badan bayi dipengaruhi pula oleh status gizi ibu.
Bayi Berat Lahir Rendah dipengaruhi dari beberapa faktor. Faktor-faktor yang berkaitan dengan ibu seperti: umur ibu, umur kehamilan, paritas, berat badan dan tinggi badan, status gizi (nutrisi), anemia, kebiasaan minum alkohol dan merokok, penyakit-penyakit keadaan tertentu waktu hamil (misalnya anemia, perdarahan dan lain-lain), jarak kehamilan, kehamilan ganda, riwayat abortus (Rochjati, et al, 1986).
Kebutuhan Gizi Ibu Hamil
Kehamilan menyebabkan meningkatnya metabolisme energi, karena itu kebutuhan energi dan zat gizi lainnya meningkat selama kehamilan. Peningkatan energi dan zat gizi tersebut diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin, pertambahan besarnya organ kandungan, perubahan komposisi dan metabolisme tubuh ibu. Pada dasarnya penambahan semua zat gizi dibutuhkan oleh ibu hamil, namun yang sering kali menjadi kekurangan adalah energi, protein dan beberapa mineral seperti zat besi dan kalsium.
Menurut Nasution (1988) yang dikutip oleh Zulhaida Lubis, kebutuhan energi untuk kehamilan yang normal perlu tambahan kira-kira 80.000 kalori selama masa kurang lebih 280 hari. Hal ini berarti perlu tambahan ekstra sebanyak kurang lebih 300 kalori setiap hari selama hamil.
Kebutuhan energi pada trimester I meningkat secara minimal. Kemudian sepanjang trimester II dan III kebutuhan energi terus meningkat sampai akhir kehamilan. Energi tambahan selama trimester II diperlukan untuk pemekaran jaringan ibu seperti penambahan volume darah, pertumbuhan uterus, dan payudara, serta penumpukan lemak. Selama trimester III energi tambahan digunakan untuk pertumbuhan janin dan plasenta (Zulhaida Lubis, 2003: 2).
Sama halnya dengan energi, kebutuhan wanita hamil akan protein juga meningkat, bahkan mencapai 68 % dari sebelum hamil. Jumlah protein yang harus tersedia selama akhir kehamilan diperkirakan sebanyak 925 g yang tertimbun dalam jaringan ibu, plasenta serta janin.
Kecukupan Gizi Ibu Hamil
Kebutuhan akan energi dan zat-zat gizi bergantung pada berbagai faktor seperti umur, gender, berat badan, aktifitas fisik dan lain-lain. (Sunita Almatsier, 2001: 296). Untuk mengetahui tingkat kecukupan gizi pada seseorang maka ditetapkan Angka Kecukupan Gizi Indonesia yang disusun oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), risalah Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi VIII, 2004. Adapun angka kecukupan gizi pada ibu hamil adalah angka kecukupan gizi pada wanita tidak hamil dengan sedikit tambahan.
Tabel
Angka kecukupan gizi pada wanita hamil (wanita usia 20-45 tahun)
Zat gizi | Wanita Tidak Hamil (19-49 thn) | Wanita Hamil |
1 | 2 | 3 |
Energi (kkal) Protein (gr) Vitamin A (RE) Vitamin D (µg) Vitamin E (mg) Vitamin K (mg) Tiamin (mg) Ribovlafin (mg) Niasin (mg) Vitamin B12 (mg) Asam folat (mg) Piridoksin (mg) Vitamin C (mg) Kalsium (mg) Fosfor (mg) Besi (mg) Seng (mg) Iodium (µg) Selenium (µg) | 1900 50 500 5 15 55 1 1,1 14 2,4 400 1,3 75 800 600 26 9,8 150 30 | +300 +17 +300 0 0 0 +0,3 +0,3 +4 +0,2 +200 +0,4 +10 +150 0 +13 +9 +50 +5 |
Sumber : Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI, 2004
Kebutuhan akan zat-zat gizi akan terpenuhi apabila ibu mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam. Dengan mengkonsumsi makanan yang beraneka ragam terebut, kekurangan zat gizi pada jenis makanan yang satu dapat dilengkapi oleh zat gizi dari makanan lainnya. Makanan yang beraneka ragam memberikan manfaat yang besar terhadap kesehatan ibu hamil karena makin beragam yang dikonsumsi makin baik mutu makanannya.
Bahaya kekurangan gizi
Masa hamil adalah masa dimana seorang wanita memerlukan berbagai unsur gizi yang jauh lebih banyak dari pada yang diperlukan dalam keadaan biasa. Disamping untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya sendiri, berbagai zat gizi itu juga diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangan janin yang ada dalam kandungan (Sjahmien Moehji, 2003: 15). Apabila kebutuhan gizi itu tidak dipenuhi maka akan terjadi berbagai gangguan baik pada ibunya sendiri maupun pada janinnya.
1. Pada ibu
Pada setiap tahap kehamilan, seorang ibu hamil membutuhkan makanan dengan kandungan zat-zat gizi yang berbeda dan disesuaikan dengan kondisi tubuh dan perkembangan janin. Tambahan makanan untuk ibu hamil dapat diberikan dengan cara meningkatkan baik kualitas maupun kuantitas makanan ibu hamil sehari-hari, bisa juga dengan memberikan tambahan formula khusus untuk ibu hamil. Apabila makanan selama hamil tidak tercukupi maka dapat mengakibatkan kekurangan gizi sehingga ibu hamil mengalami gangguan. Gizi kurang pada ibu hamil dapat menyebabkan risiko dan komplikasi pada ibu hamil, antara lain anemia, berat badan tidak bertambah secara normal dan terkena infeksi. Pada saat persalinan gizi kurang dapat mengakibatkan persalinan sulit dan lama, persalinan sebelum waktunya (premature), perdarahan setelah persalinan, serta operasi persalinan.
2. Pada anak
Untuk pertumbuhan janin yang baik diperlukan zat-zat makanan yang
adekuat, dimana peranan plasenta besar artinya dalam transfer zat-zat makanan tersebut. Suplai zat-zat makanan kejanin yang sedang tumbuh tergantung pada jumlah darah ibu yang mengalir melalui plasenta dan zat-zat makanan yang diangkutnya. Gangguan suplai makanan dari ibu mempengaruhi proses pertumbuhan janin dan dapat menimbulkan keguguran (abortus), bayi lahir mati (kematian neonatal), cacat bawaan, lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR).
Kurang Energi Kronis (KEK) Pada Ibu Hamil
Menurut Depkes RI (1995) dalam Program Perbaikan Gizi Makro menyatakan bahwa Kurang Energi Kronis merupakan keadaan dimana ibu menderita kekurangan makanan yang berlangsung menahun (kronis) yang mengakibatkan timbulnya gangguan kesehatan pada ibu.
KEK dapat terjadi pada wanita usia subur (WUS) dan pada ibu hamil (bumil). Pada ibu hamil lingkar lengan atas digunakan untuk memprediksi kemungkinan bayi yang dilahirkan memiliki berat badan lahir rendah. Ibu hamil diketahui menderita KEK dilihat dari pengukuran LILA, adapun ambang batas LILA WUS (ibu hamil) dengan risiko KEK di Indonesia adalah 23,5 cm. Apabila ukuran LILA kurang dari 23,5 cm atau dibagian merah pita LILA, artinya wanita tersebut mempunyai risiko KEK dan diperkirakan akan melahirkan berat bayi lahir rendah (BBLR). BBLR mempunyai risiko kematian, gizi kurang, gangguan pertumbuhan dan gangguan perkembangan anak.
Lingkar lengan atas merupakan indikator status gizi yang digunakan terutama untuk mendeteksi kurang energi protein pada anak-anak dan merupakan
alat yang baik untuk mendeteksi wanita usia subur dan ibu hamil dengan risiko melahirkan bayi dengan berat badan lahir rendah. Hal ini sesuai dengan Depkes RI (1994) yang dikutip oleh I Dewa Nyoman Supariasa, bahwa pengukuran LILA pada kelompok wanita usia subur (WUS) adalah salah satu cara deteksi dini yang mudah dan dapat dilaksanakan oleh masyarakat awam, untuk mengetahui kelompok berisiko kekurangan energi kronis (KEK).
Pengukuran LILA tidak dapat digunakan untuk memantau perubahan status gizi dalam jangka pendek. Pengukuran LILA digunakan karena pengukurannya sangat mudah dan cepat. Hasil pengukuran LILA ada dua kemungkinan yaitu kurang dari 23,5 cm dan diatas atau sama dengan 23,5 cm. Apabila hasil pengukuran < 23,5 cm berarti risiko KEK dan ≥ 23,5 cm berarti tidak berisiko KEK.
Hubungan antara variasi normal pada ukuran tubuh bayi saat lahir dan kesehatan di sepanjang kehidupan telah mendorong untuk segera dilakukan reevaluasi terhadap regulasi perkembangan janin. Tindakan reevaluasi ini semakin dikuatkan oleh hasil-hasil penelitian terakhir yang memperlihatkan bahwa diet atau pola makan dan komposisi tubuh ibu pada saat hamil berhubungan dengan tingkat faktor resiko kardiovaskuler dan prevalensi penyakit jantung koroner pada anak-anak saat usia dewasa karena berat badan lahir rendah ada kaitannya dengan peningkatan angka prevalensi penyakit jantung koroner dan kelainan yang berkaitan seperti stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2 (David J.P. Parker dan Keith M. Godfrey, 2008)
BAB III
PEMBAHASAN
1. Pengamatan ekologis
Pada permulaan abad ke 20, insiden Penyakit Jantung Koroner meningkat dengan tajam di negara-negara Barat dan menjadi penyebab kematian yang paling sering ditemukan. Di banyak negara Barat, peningkatan yang tajam tersebut diikuti oleh penurunan insiden selama beberapa dasawarsa terakhir yang bukan karena oleh perubahan gaya hidup orang dewasa.
Sebuah petunjuk penting bahwa penyakit jantung koroner mungkin berawal pada masa perkembangan janin datang dari penelitian terhadap angka kematian di antara bayi-bayi baru lahir di Inggris pada awal tahun 1900. Penyebab kematian bayi baru lahir pada waktu itu adalah berat badan lahir rendah (BBLR). Angka kematian dalam periode bayi yang baru lahir sangat berbeda antara bagian negara yang satu dengan yang lainnya dan angka tertinggi terlihat pada beberapa kota industri di sebelah utara dan di daerah pedesaan yang lebih miskin pada kawasan utara dan barat Inggris.
Pola geografis angka kematian tersebut sangat mirip dengan luasnya variasi yang terdapat saat ini pada angka kematian karena penyakit jantung koroner, yaitu variasi yang membentuk salah satu aspek terbaginya permasalahan kesehatan antara kawasan utara dan selatan yang terus berlanjut di Inggris.
Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari pengamatan ini adalah bahwa rendahnya angka pertumbuhan sebelum lahir sangat berkaitan dengan terjadinya kasus penyakit jantung koroner pada kehidupan dewasa. Pandangan mengenai keadaan terjadinya kekurangan gizi pada janin dapat mempengaruhi patogenesis penyakit jantung koroner bukanlah pandangan yang baru.
2. Penelitian tentang berat badan lahir rendah dengan penyakit jantung koroner
Penelitian yang dilakukan di Hertfordshire, Inggris mengenai pria dan wanita yang lahir dengan ditimbang berat badannya, menunjukkan untuk pertama kalinya bahwa mereka yang mempunyai berat badan lahir rendah mengalami peningkatan angka kematian karena penyakit jantung koroner pada usia dewasa. Sedangkan sebaliknya angka kematian karena penyakit jantung koroner mengalami penurunan secara progresif dengan terjadinya peningkatan berat badan lahir pada pria maupun wanita.
Penelitian lainnya yang dilakukan di Sheffield, Inggris terhadap 1.586 pria dalam kurun waktu 1907-1925, menunjukkan bahwa anak-anak yang bertubuh kecil pada saat lahir karena gangguan pertumbuhan dan bukan karena lahir prematur mengalami peningkatan terjadinya penyakit jantung koroner.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut telah membuat pandangan bahwa pertumbuhan janin yang rendah berkaitan dengan terjadinya kasus penyakit jantung koroner pada usia dewasa dapat diterima secara luas. Sebagai contoh ada penelitian mengenai adanya korelasi antara BBLR dan PJK pada usia dewasa dilakukan di Caerphilly, South Wales terhadap 1.200 orang laki-laki dan 70.297 orang perawat di Amerika Serikat. Penelitian lainnya dilakukan di Mysore, India Selatan terhadap 517 orang pria dan wanita dengan hasil prevalensi PJK pada pria dan wanita yang berumur 45 tahun atau lebih adalah 15 % dengan berat badannya 2,5 kg atau kurang pada waktu lahir dan 4 % pada mereka yang berat badannya 3,2 kg atau lebih.
3. Jumlah sel darah putih yang tinggi untuk bayi lahir dengan berat rendah dapat menjelaskan Resiko Penyakit Jantung
Penelitian yang dilakukan oleh peneliti studi Dexter Canoy, MD, PhD yang diterbitkan dalam Journal of Clinical Endocrinology & Metabolism menunjukkan bahwa bayi lahir dengan berat rendah dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dimasa dewasa, dan sekarang studi yang baru dapat membantu menjelaskan mengapa itu dapat terjadi. Peneliti Inggris dari University of Manchester ini melaporkan bahwa orang dewasa muda dalam studi mereka yang saat lahir berat badannya rendah dan selama masa kanak-kanak memiliki jumlah sel darah putih yang tinggi, mengindikasikan terjadinya peradangan, daripada dewasa muda yang lahir dengan berat normal. Peradangan yang diyakini memainkan peranan penting dalam terjadinya penyakit jantung dan vascular serta penyakit kronis lainnya seperti diabetes. Penelitian ini dilakukan terhadap 5619 penduduk dari utara Finlandia yang baru lahir sampai usia 31 tahun, dengan menggunakan data dari studi nasional dari bayi yang lahir pada tahun 1966. Mereka membandingkan berat badan saat lahir dan pada usia 1 tahun untuk menghitung sel darah putih sampai pada usia 31 tahun. Bayi dengan berat badan rendah dan mereka yang pertumbuhannya lebih awal mempunyai jumlah sel darah putih tertinggi. Bahkan penelitian ini juga menggunakan laporan faktor resiko penyakit jantung dan diabetes seperti tekanan darah, kolesterol, daya tahan insulin, kegemukan, dan merokok.
4. ' Thrifty Phenotype' Hipotesis
Dengan pengamatan pada pertumbuhan janin yang buruk berkontribusi untuk penyakit kronis dimasa dewasa ini pertama kali diusulkan pada tahun 1980-an oleh peneliti Inggris David J. Barker dari Universitas Southampton.
Biasanya dikenal sebagai " thrifty phenotype" hypothesis, pikirannya adalah adaptasi metabolisme yang dilakukan dalam menanggapi kehilangan gizi yang terjadi secara permanen, mengarah ke peningkatan resiko untuk berbagai penyakit kronis dimasa dewasa.
Puluhan skala besar studi yang dilakukan di Inggris, Amerika Serikat dan di tempat lain yang menunjukkan hubungan antara pertumbuhan janin yang buruk dan penyakit jantung, stroke, dan diabetes dalam masa dewasa (Daniel T., DrPH,)
Lackland, yang telah bekerja sama dalam studi dengan Barker pada beberapa pemeriksaan berat lahir dan penyakit kronis, mengatakan bahwa studi oleh Canoy dan koleganya membuat hal yang menarik bahwa peradangan memainkan peran penting dalam proses terjadinya peningkatan kasus penyakit jantung koroner. Lackland adalah seorang profesor dari Kedokteran epidemiologi di University of South Carolina di Charleston.
"Studi secara konsisten menunjukkan bahwa bayi yang lebih kecil saat lahir, memiliki resiko yang lebih besar," kata Lackland. "Itu tidak berarti bahwa seseorang yang lahir kecil itu pasti akan ada tekanan darah tinggi atau akan memiliki stroke atau serangan jantung. Tapi bahwa resiko mereka untuk keadaan ini mungkin lebih tinggi."
5. Proporsi tubuh saat lahir dengan penyakit kardiovaskular
Ukuran panjang badan memungkinkan kita untuk membedakan bayi yang kurus dengan bayi yang gemuk dan pendek. Dengan ukuran lingkar kepala, bayi yang ukuran badannya kecil jika dibandingkan dengan ukuran kepalanya sebagai akibat dari pertumbuhan otak dapat dibedakan pula. Tubuh yang kurus, pendek dan kecil dianggap dapat mencerminkan perbedaan adaptasi janin terhadap keadaan gizi kurang dan bayi-bayi tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang yang berbeda-beda.
Angka kematian karena Penyakit Jantung Koroner lebih tinggi pada laki-laki yang saat lahir memiliki ukuran panjang badan yang pendek. Angka kematian karena PJK pada kelompok laki-laki dengan panjang ukuran 47 cm atau kurang adalah 138 orang berbanding 98 orang demikian penelitian di Sheffield, Inggris. Tubuh yang kurus pada saat lahir berdasarkan hasil pengukuran yang rendah juga memiliki keterkaitan dengan penyakit jantung koroner.
Penelitian yang dilakukan di Helsinki, Finlandia menunjukkan bahwa meskipun berat badan lahir rendah berkaitan dengan meningkatnya angka kematian karena PJK, namun terdapat hubungan yang lebih erat pada tubuh yang kurus saat lahir khususnya pada anak laki-laki. Anak laki-laki dengan tubuh kurus memiliki angka kematian dua kali lipat dari pada angka kematian laki-laki dengan tubuh ideal.
Dengan demikian pola proporsi tubuh saat lahir yang dapat mengakibatkan kematian karena PJK dapat disimpulkan sebagai lingkar kepala yang kecil, tubuh yang pendek atau kurus yang mencerminkan penurunan pertumbuhan janin. Pola proporsi tubuh yang kurus atau pendek terhadap stroke juga dilaporkan tapi tidak memiliki korelasi jika dibandingkan dengan hubungan antara berat badan lahir rendah dengan stroke. Sebaliknya insiden stroke tampak meningkat pada laki-laki yang memiliki rasio berat badan terhadap lingkar kepala yang rendah.
6. Penelitian tentang berat badan lahir rendah dengan penyakit kardiovaskular dan metabolik
a. Hipertensi
Hubungan antara berat badan lahir rendah dan kenaikan tekanan darah pada usia kanak-kanak dan dewasa banyak terjadi di seluruh dunia. Korelasi antara berat badan lahir rendah dan kenaikan tekanan darah bergantung pada ukuran tubuh bayi yang kecil jika dilihat dari usianya sesudah terjadinya penurunan pertumbuhan bayi dan bukanlah pada bayi yang lahir prematur. Tekanan darah tinggi juga ditemukan pada bayi-bayi yang bertubuh kecil saat lahir tetapi mengalami kelebihan berat badan pada usia dewasa.
Berat lahir merupakan ukuran kasar untuk menentukan pertumbuhan janin yang tidak membedakan tubuh kurus atau pendek, perbedaan ukuran kepala ataupun variasi pada keseimbangan antara besar janin dan plasenta
Sejumlah analisis yang dilaksanakan di Preston Inggris membagi du akelompok bayi yang mengalami kenaikan tekanan darah. Kelompok pertama memiliki berat plasenta di bawah rata-rata dan bertubuh kurus serta lingkar kepala di bawah rata-rata. Kelompok kedua memiliki berat plasenta di atas rata-rata dan panjang badan yang lebih pendek jika dibandingkan dengan lingkar kepala, bayi-bayi yang pendek cenderung bertubuh gemuk dan dapat memiliki berat lahir di atas rata-rata.
Berbeda dengan korelasi antara ukuran lahir dan PJK, korelasi antara berat lahir dan tekanan darah umumnya cukup erat sama seperti korelasi antara tubuh kurus serta pendek terhadap tekanan darah. Korelasi antara tekanan darah, tubuh yang kurus dan pendek ditemukan pada sebagian penelitian, tetapi tidak dijumpai pada sebagian penelitian yang lain. Dalam sebuah penelitian terhadap orang muda di Adelaide, Australia tidak tampak korelasi antara tekanan darah dan tubuh yang kurus serta pendek pada usia 8 tahun, namun korelasi tersebut baru terlihat pada usia 20 tahun.
Kenaikan tekanan darah dengan meningkatnya berat plasenta juga ditemukan pada anak-anak berusia 4 tahun di Salisbury, Inggris dan diantara anak-anak berusia 8 tahun di Adelaide, Australia. Kendati demikian dalam beberapa penelitian terhadap anak-anak dan dewasa terdapat ketidakkonsistenan pada korelasi antara pembesaran plasenta dan kenaikan tekanan darah.
Tekanan darah ibu juga memiliki korelasi dengan tekanan darah anaknya. Namun korelasi antara ukuran serta proporsi tubuh pada saat lahir dan tekanan darah pada usia kanak-kanan dan dewasa tidak tergantung pada tekanan darah ibu. Dengan demikian masih dapat diperdebatkan bahwa korelasi antara BBLR dan kenaikan tekanan darah pada usia dewasa itu mencerminkan suatu korelasi yang kemungkinan bersifat genetik antara tekanan darah ibu dabn tekanan darah anaknya.
Penjelasan bahwa keadaan gizi kurang selama kehamilan yang dilakukan secara eksperimental telah menimbulkan argumentasi yang menyanggah interpretasi adanya korelasi antara BBLR dan tekanan darah ibu. Salah satu kemungkinan yang terjadi adalah bahwa kenaikan tekanan darah selam hamil itu mencerminkan kegagalan sistem kardivaskular ibu dalam beradaptasi terhadap kehamilannya, keadaan ini dapat mengurangi aliran darah uteroplasenta dan pasokan nutrien ke tubug janin sehingga terjadi BBLR serta kenaikan tekanan darah pada anaknya.
b. Diabetes tipe 2
Insulin memiliki peran sentral dalam pertumbuhan janin sehingga kelainan pada metabolisme glukosa serta insulin menunjukkan keterkaitan yang jelas antara pertumbuhan dini dan penyakit kardiovaskular.
Meskipun obesitas dan gaya hidup dianggap penting dalam proses terjadinya diabetes tipe 2, namun kedua faktor tersebut nampaknya hanya menimbulkan penyakit pada individu yang memiliki predisposisi ke arah itu. Penelitian terhadap keluarga dan anak kembar menunjukkan bahwa predisposisi tersebut bersifat familial kendati sifatnya tidak diketahui. Penyakit diabetes cenderung diwariskan melalui sisi maternal dalam keluarga.
Beberapa penelitian telah mengonfirmasikan adanya korelasi antara berat lahir dengan toleransi glukosa terganggu (TGT) serta diabetes tipe 2 yang pertma kali dilaporkan di Hertfordshire, Inggris. Di Preston Inggris ditemukan bahwa bayi-bayi yabg bertubuh kurus akan menderita toleransi glukosa terganggu (TGT) dan diabetes pada usia dewasa. Lithell dan rekan-rekannya (1996) memastikan korelasi dengan tubuh yang kurus di Uppsala, Swedia yang menunnjukkan prevalensi diabetes tiga kali lebih tinggi pada pria dengan tubuh kurus dibandingan dengan pria tubuh normal.
Korelasi antara BBLR atau tubuh yang pendek dan kurus pada saat lahir dan metabolisme glukosa insulin yang berubah ditemukan pada anak-anak di Eropa, India dan Jamaika. Hasil-hasil ini memberikan dukungan lebih labjut bagi hipotesis yang mengatakan bahwa diabetes tipe 2 berasal dari gangguan pertumbuhan di dalam rahim dan menunjukkan bahwa benih diabetes pada generasi mendatang sudah tersemai dan akan tumbuh pada anak-anak di saat usia dewasa.
c. Kolesterol Serum dan Pembekuan Darah
Beberapa penelitian di Sheffield, Inggris memperlihatkan bahwa neonatus yang tubuhnya pendek dan memiliki BBLR sehubungan dengan ukuran kepalanya, sekalipun masih berada dalam kisaran berat lahir normal, mengalami gangguan metabolisme kolesterol dan pembekuan darah yang persisten.
Keadaan yang tidak seimbang akibat kurangnya pasokan nutrisi pada janin dapat mempengaruhi pertumbuhan hati yang beberapa fungsi hati adalah yang mengatur kadar kolesterol dan pembekuan darah akan terganggu secara permanen. Gangguan pada metabolisme kolesterol dan pembekuan darah merupakan ciri penting penyakit jantung koroner.
Pencatatan yang dilakukan dalam penelitian di Sheffield, Inggris meliputi penurunan ukuran lingkar perut dan panjang badan pada saat lahir. Keadaan ini mencerminkan berkurangnya ukuran hati yang memprediksikan kenaikan kadar LDL-Kolesterol serum dan fibrinogen plasma pada usia dewasa.
7. Perubahan Fisiologi dan BB Selama Kehamilan
Saat seorang wanita menjalani masa kehamilan, basal metabolisme tubuh akan semakin meningkat. Bersamaan dengan itu terjadi pula mekanisme adaptasi dalam tubuhnya. Penambahan berat badan di masa akhir kehamilan biasanya disebabkan karena pertumbuhan fetus (ca. 3 kg), pertumbuhan di tubuh ibu yang meliputi uterus, plasenta, air ketuban, air dan darah (ca. 4 kg) dan persediaan lemak (ca. 3kg). Tak heran, seorang bumil akan memiliki berat badan yang lebih dibanding saat ia tak mengandung. Penambahan BB adalah hal yang mutlak!.
Berbeda dari anjuran penambahan BB kehamilan di era 70-80'an, penambahan BB yang direkomendasikan saat seorang ibu mengandung saat ini biasanya berpatokan pada Body Mass Index (BMI) yang ibu miliki sebelum mengandung. Semakin rendah BMI yang ibu miliki sebelum masa konsepsi, semakin tinggi kuantitas pertambahan BB yang diharapkan. Wanita dengan BMI < 20 dianjurkan untuk menambah BB selama kehamilan sebanyak 12,5 - 18 kg. Wanita yang BMI sebelum hamilnya normal (20,0-26,0) idealnya bertambah BB saat hamil sekitar 11,5-16 kg. Sebaliknya, seorang wanita yang terkategori obesitas hanya dianjurkan untuk mengalami penambahan BB tak lebih dari 6 kg hingga masa akhir kehamilannya! (Abrams et al 2000).
8. Kebutuhan Energi dan Protein
Kondisi kehamilan memang akan menyebabkan kebutuhan energi dan protein yang bertambah. Namun hal tersebut bukan berarti mentolerir seorang bumil dapat makan sebanyak banyaknya dengan alasan "makan untuk dua orang". Penambahan energi yang direkomendasikan hingga masa akhir kehamilan berdasarkan hasil penelitian terbaru di bidang maternal tak lainnya hanya sebesar 85.000 kcal. Kcal sebesar 85 ribu ini pun telah mencakup energi yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan baru, supply energi untuk jaringan baru, simpanan dalam bentuk lemak serta 10% energi yang hilang untuk metabolisme tubuh.
Dengan memperhitungkan masa kehamilan yang hanya 280 hari, rata rata penambahan kalori yang sebenarnya dibutuhkan oleh bumil hanya sebesar 300 kcal (85.000/280). Jumlah ekstra kalori tersebut tak lebih dari pengkonsumsian sebuah joghurt 250-300 gr dengan kadar lemak 3,5%! Itupun sebenarnya ekstra kalori benar benar dibutuhkan khususnya sejak 5 bulan kehamilan.
Penambahan kebutuhan protein sebenarnya hanya sebesar 0,9-1,0 gr per kg BB per hari. Meningkatkan konsumsi sumber protein sebanyak mungkin dengan alasan "hamil" juga sebenarnya bukan merupakan tindakan bijaksana. Jumlah protein yang ditambah sendiri biasanya hanya dianjurkan bila asupan energi juga cukup. Bila kondisi tersebut tidak dipenuhi, asam amino akan digunakan terlebih dahulu untuk produksi energi.
9. Kebutuhan Mikronutrisi: Asam Folat dan Vitamin A
Tambahan asupan mikronutrisi juga dibutuhkan selama masa kehamilan. Asam folat, Vitamin A, Sodium, Kalsium, Magnesium, Besi, Yodium adalah beberapa mikronutrisi yang penting dicatat di masa ini.
Asam folat amat dibutuhkan saat terjadinya penambahan jumlah sel di masa awal kehamilan. Kekurangan asam folat biasanya akan dikaitkan dengan tingginya risiko si bayi mengalami "neural tube defects", Berat Bayi Lahir Rendah (BBLR) dan lahir prematur.
Vitamin A dalam bentuk retinol berkontribusi terhadap kualitas pengelihatan si kecil. Pada daerah dengan masalah defisiensi vitamin A, transfer aktif vitamin A ke fetus akan tetap terjadi walau sang ibu memiliki serum-vitamin A yang rendah dalam darahnya. Bahkan di tri semester tiga kehamilan, fetus akan mulai menimbun vitamin A dalam organ hatinya.
Kolostrum yang ibu produksi setelah melahirkan si kecil merupakan sumber makanan yang kaya akan vitamin A. Namun perlu diperhatikan bahwa seorang ibu yang mengalami defisiensi vitamin A tidak akan memiliki kuantitas transfer vitamin A yang cukup melalui plasenta dan ASI.
Ibu menyusui yang berada di daerah endemik defisiensi vitamin A harus mendapatkan supplementasi vitamin A (200.000 IU) selama masa 8 minggu pertama setelah melahirkan. Supplementasi vitamin A ini tidak boleh dilakukan saat si ibu hamil mengingat adanya efek teratogenik yang diamati pada pemberian dosis tinggi vitamin A pada masa kehamilan.
10. Kebutuhan Sodium, Kalsium, Magnesium
Pengkonsumsian sodium dan kalsium dengan jumlah "sedang" juga diperlukan. Kalsium berperan penting dalam mekanisme pengaturan selama masa kehamilan dan menyusui. Ia juga akan meningkatkan absorbsi intestinal yang terjadi. Biasanya, setelah masa 6-12 bulan sang ibu melewati masa menyusui, depot kalsium di tubuhnya akan kembali terisi. Seorang bumil yang mengkonsumsi kalsium minimal 1000 mg ca/hari akan kecil memiliki risiko terkena PIH (Pregnancy Induced Hypertension).
Kekurangan magnesium biasanya dialami oleh 5-30% bumil dengan ditandai adanya keluhan kram (Nocturnal Systremma). Suplementasi secara oral dari mikronutrisi ini terbukti akan mengurangi keluhan kram pada ibu yang sedang mengandung.
11. Kebutuhan Besi dan Iodium
Besi juga merupakan mikronutrisi yang amat diperlukan dalam masa kehamilan. Anemia saat kehamilan biasanya akan mempertinggi risiko terjadinya BBLR pada bayi, tingginya insidens kelahiran prematur dan meningkatkan kemungkinan terjadinya kematian pada ibu saat melahirkan. Perlu diingat, anemia tidak selalu disebabkan karena kekurangan besi dalam darah. Kebanyakan wanita menderita anemia yang disebabkan oleh kombinasi kekurangan besi, asam folat, vitamin B12 dan vitamin A.
Kekurangan iodium saat masa kehamilan sedapat mungkin harus dihindari. Seorang bumil idealnya harus memiliki persediaan iodium yang mencukupi agar transfer iodium ke fetus yang dikandungnya dapat mencukupi. Asupan iodium yang kurang dalam kehamilan dapat menyebabkan terjadinya gangguan pertumbuhan otak fetus, BBLR, kretin dan kongenital yang abnormal. Mengingat pentingnya fungsi iodium dalam masa ini, bumil dianjurkan untuk mengkonsumsi produk produk fortifikasi iodium seperti garam ber-iodium dan minyak ber-iodium.
12. Kebutuhan Kalori: Haruskah Selalu Tinggi?
Kebutuhan penambahan energi pada kondisi hamil amat variatif antar satu bumil dengan yang lainnya. Seorang ibu hamil yang status nutrisi nya sudah baik atau bahkan overweight tidak perlu meningkatkan asupan energi yang biasa dikonsumsi. Yang diperlukan dalam kondisi ini adalah konsumsi makanan yang variatif, terutama yang mengandung besi dan mikronutrisi yang diperlukan selama masa kehamilannya. Buah buahan, sayur mayur, daging, ikan dan produk turunan dari susu adalah beberapa sumber makanan yang dianjurkan untuk disantap.
Berbeda dengan remaja yang kebetulan mengandung, kebutuhan energi yang harus dicukupi akan tinggi karenanya asupan makanannya pun harus ditingkatkan. Hal itu perlu dilakukan karena di kondisi tersebut sang bumil "remaja" masih memerlukan zat zat makanan yang dibutuhkan untuk pertumbuhan bayinya dan dirinya sendiri.
13. Konsumsi Kofein, Alkohol dan Nikotin
Tabukah mengkonsumsi kopi selama hamil? Sebenarnya tidak, walaupun akan lebih bijak bila konsumsi kafein "diliburkan" selama masa kehamilan. Kopi tetap dapat dikonsumsi dengan jumlah tertentu. Minum 2-3 cangkir kopi per hari biasanya masih ditoleransi karena dari hasil penelitian terkait, belum ada efek negatif yang ditunjukkan. Sebaliknya, meminum kopi lebih dari 6 cangkir sehari harus dihindari mengingat asupan kofein yang tinggi akan memperbesar pengaruh rendahnya BB bayi saat dilahirkan.
Alkohol memang merupakan pantangan selama masa hamil. Dengan efek negatif pada janin yang nantinya dapat menimbulkan kerusakan syaraf, alkohol memang merupakan barang yang tabu untuk dikonsumsi. Dari penelitian tema terkait terbukti alkohol dapat menyebabkan terjadinya fetal alcohol syndrome pada bayi yang dilahirkan.
Bagaimana halnya dengan rokok?. Serupa dengan alkohol, rokok juga merupakan barang tabu bagi seorang bumil. Merokok saat mengandung si kecil biasanya akan berhubungan dengan tingginya risiko terjadinya aborsi, kelahiran prematur serta penyakit fatal yang timbul pada si kecil seperti penyakit pernafasan dan asma.
14. Pola Konsumsi Makanan Yang Dianjurkan Pada Bumil
Sebagaimana yang telah disinggung di atas, pola konsumsi makanan yang dianjurkan pada ibu hamil adalah diet makanan yang seimbang dengan kandungan protein dan mikronutrisi berkualitas tinggi serta energi yang cukup. Penambahan energi yang tinggi sendiri baru diperlukan pada tri semester ketiga kehamilan.
Karenanya, tak perlu bumil mengkonsumsi makanan dalam jumlah yang besar besaran atau selalu "ngemil" saat masa kehamilan. Yang sebenarnya dibutuhkan oleh tubuh tak lain kualitas makanan yang variatif. Pun ada penambahan asupan energi di tiga bulan akhir masa kehamilan, "ekstra" yang diperlukan tak lain hanya tambahan kalori setara dengan 250-300 gr yoghurt setiap harinya!
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
1. Salah satu teori yang menjelaskan pengaruh status nutrisi seorang ibu hamil pada janin yang dikandungnya adalah teori yang dikenal dengan nama "Fetal Programming". Menurut teori tersebut, seorang ibu hamil yang mengalami kekurangan gizi/malnutrisi akan menyebabkan fetus yang dikandungnya mendapat asupan makanan yang kurang dalam pertumbuhannya. Hal itu mungkin akan memacu timbulnya penyakit kronis yang si kecil derita di masa depan.
2. Kekurangan zat gizi pada janin dan ibu hamil dapat mengakibatkan berat badan lahir rendah (BBLR)
3. Berat badan lahir rendah berkaitan dengan peningkatan angka prevalensi penyakit jantung koroner dan kelainan yang berkaitan dengan penyakit kardivaskular dan metabolik seperti stroke, hipertensi dan diabetes tipe 2 pada usia dewasa.
4. Selain BBLR juga ukuran panjang badan bayi dan lingkar kepala juga dapat mengakibatkan penyakit kronis pada usia dewasa.
5. BBLR juga dapat meningkatkan jumlah sel darah putih yang dapat mengakibatkan penyakit jantung koroner dan penyakit kronis lainnya pada usia dewasa
DAFTAR PUSTAKA
Michael J. Gibney, dkk. 2008. Gizi Kesehatan Masyarakat. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hal. 372-390.
Arisman, MB. 2007. Gizi dalam Daur Kehidupan. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta. Hal. 2-28
http://www.blogger.com/Hubungan Status Gizi Ibu, Kondisi Fisik Ibu dan Efesiensi Reproduksi
http://www.bebe17.info/archive/kurang gizi pada ibu hamil : ancaman pada janin
http://rudyet.com/PP5702-ipb/07134/zulhaida_lubis,htm/ status gizi ibu hamil serta pengaruhnya terhadap bayi yang dilahirkan
http://familiedykes.multiply.com/journal/item/85/Tulisan:Haruskah Mengkonsumsi Makanan Kuantitas Tinggi Saat Berbadan Dua ?
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusTitanium Max Trimmer | The TITanium Arts
BalasHapusTitanium Max Trimmer | The TITanium Arts | TITanium Sports. Teton University. Teton University. galaxy watch 3 titanium Teton University. titanium rings Teton titanium ore University. Teton University. Teton University. Teton University. Teton silicone dab rig with titanium nail University. Teton University. Teton University. titanium plate flat irons Teton University.